Rabu, 10 Juni 2015

DESENTRALISASI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL



DESENTRALISASI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Dasar-dasar Manajemen Pendidikan
                                  Dosen Pengampu : Drs. H. Muslam, M.Ag., M.Pd.



DisusunOleh :

Sandi Milzam Fortuna                         : 123311037


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

DESENTRALISASI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

I.                   PENDAHULUAN
Sejak reformasi, program desentralisasi diberlakukan hampir di semua bidang, kecuali pada lima hal, yaitu keuangan, agama, hukum, dan pertahanan.Sebelum akhirnya ada penambahan bidang, yaitu sektor pendidikan. Hal ini berartisistem pendidikan nasional yang dulunya bersifat sentralistik kini bersifat desentralistik. Sistem pendidikan yang sentralis sendiri diakui kurang bisa mengakomodasi keberagaman daerah, keberagaman sekolah, dan keberagaman peserta didik, bahkan cenderung mematikan partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan. sedangkan sistem pendidikan yang desentralisasi sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan revisi Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah, di mana sejumlah kewenangan telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, memungkinkan daerah untuk melakukan kreasi, inovasi, dan improvisasi dalam upaya pembangunan daerahnya termasuk dalam bidang pendidikan. Pemberlakuan otonomi daerah tersebut membawa implikasi terhadap perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan, yang salah satunya adalah berkurangnya peran pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan[1].
Desentralisasi pendidikanmerupakan kebijakan politik yang berpengaruh pada proses pembangunan pendidikan. Pembangunan yang menurut definisi PBB  sebagai upaya atau proses dinamis tanpa akhir”development is not a static concept"[2]. Oleh karena itu, rekontruksi pendidikan sangat diperlukan sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan kebijakan pendidikan.Rekontruksi pendidikan diperlukan adanya kerjasama yang baik antara pemerintah pusat maupun daerah dengan lembaga-lembaga pendidikan yang bersangkutan dan keikutsertaan masyarakat dalam  pelaksaan kebijakan tersebut demi tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan hal diatas, dalam tulisan ini akan dibahas lebih lanjut  tentang bagaimana sistem desentralisasi pendidikan di Indonesia.
II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian desentralisasipendidikan?
B.     Apa tujuan desentralisasi pendidikan di Indonesia?
C.     Apa saja ruang lingkup desentralisasi manajemen pendidikan?
D.    Apa kewenangan pemerintah pusat dan propinsi di bidang pendidikan?
E.     Bagaimana pelaksanaansistem desentralisasi pendidikan nasional di Indonesia?

III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian Desentralisasi Pendidikan
Pada awalnya istilah desentralisasi digunakan dalam keorganisasian yang secara sederhana didefinisikan sebagai penyerahan kewenangan. Sedangkan pengertian desentralisasi menurut  Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia[3]. Dengan adanya desentralisasi maka muncullah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah.
Menurut Rondinelli, terdapat empat bentuk desentralisasi[4], yaitu:
1.      Dekonsentrasi adalah pembagian sebagian kewenangan atau tanggung jawab administratifke tingkat yang lebih rendah di bawah departemen dan perwakilan pusat, pengalihan beban kerja dari pejabat pusat ke kantor diluar ibukota atau pemerintahan pusat.
2.      Delegasi merupakan pelimpahan pengambilan keputusan  dan kewenangan menejerial untuk melakukan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung berada dibawah pengawasan pemerintah pusat.
3.      Devolusi merupakan transfer kewenangan untuk pengambilan keputusan, keuangan, dan menejemen kepada unit otonomi daerah.
4.      Privatisas adalah tindakan pemberian kewenangandari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta dan swadaya masyarakat.
Keempat bentuk tersebut yang menjadi menjadi model desentralisasi di Indonesia sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah bentuk yang ketiga, yaitu model devolusi[5]. Model ini memiliki konsekuensi tanggung jawab atas apa yang diputuskan termasuk berimplikasi pada keuangan dan manajemen dibebankan pada kabupaten dan kota. Oleh karenanya, pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenanangan dan tanggung  jawab pada pelayanan dasar di daerahnya seperti di bidang pertanahan, pertanian, pendidikan, kebudayaan dan yang lainnya.
Sedangkan desentralisasi pendidikan merupakan gabungan dari dua kata yaitu antara desentralisasi dan pendidikan. Ada beberapa pendapat menurut para ahli  mengenaipengertian desentralisasi pendidikan,  diantaranya yaitu:
1.      Menurut Burnett e.al yang dikutip oleh M. Sirozi, desentralisasi pendidikan adalah otonomi untuk menggunkan input pembelajaran sesuai dengan tuntunan sekolah dan komunitas yang dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tua dan komunitas.[6]
2.      Abdul Halim,  mengartikan desentralisasi pendidikan yaitu terjadinya pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan.[7]
3.      Menurut Sufyarman, desentralisasi pendidikan adalah sistem menajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada kebhinekaan.[8]
Dengan demikian, desentralisasi pendidikan dapat diartikan sebagai pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah beserta masyarakat, pengelola dan pengguna pendidikan itu sendiri, untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusan sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan dengan mengacu kepada Sistem Pendidikan Nasional.

B.     Tujuan Desentralisasi Pendidikan di Indonesia
Dalam pelaksanaannya, desentralisasi pendidikan dilatarbelakangi bahwa setiap daerah mengetahui sejarah, kondisi, potensi, permasalahan,dan asprasi daerahnya sendiri. Untuk itu daerah yang bersangkutan harus mampu merumuskan kebijakan  dan mengambil keputusan serta menentukan langkah-langkah pelaksanaan pendidikan daerah bersangkutan.
Pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa negara Amerika Latin, Amerika Serikat, dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian kewenangan di sektor pendidikan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, maka tujuan strategi desentralisasi pendidikan yang seperti ini adalah target untuk mencapai efesiensi dalam penggunaan sumber daya (school resources; dana pendidikan yang berasal dari pemerintah dan masyarakat).[9]
                 Di samping itu secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisai pendidikan, yaitu:
1.                  Desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerinah pusat ke pemerintah daerah (propinsi dan distrik);
2.                  Desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah.[6]
                  Dari konsep tersebut dapat dipahami bahwa desentralisasi pendidikan yang pertama berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintah dari pusat ke daerah, sedangkan konsep kedua memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
                  Dengan demikian jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan kualitas pendidikan yang berarti proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut, maka desentralisasi pendidikan lebih difokuskan pada reformasi proses belajar mengajar. Partisipasi bahkan rasa tanggung jawab orang tua dalam kegiatan pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang paling menentukan.

C.     Ruang Lingkup Desentralisasi Pendidikan
Menurut Jalal dan Musthafa dalam bukunya Sirozi[10], ada dua konsep yang berbeda, tetapi saling terkait dalam desentralisasi pendidikan.Konsep pertama berkenaan dengan isu umum desentralisasi, yaitu transfer otoritas kebijakan pendidikan dari pusat ke daerah. Dalam konsep ini, pemerintah harus memberikan kebijakan-kebijakan pendidikan kepada pemerintah daerah beserta dana yang dibutuhkan untuk membiayai tanggung jawab yang dibebankan. Pemerintah perlu menghitung kebutuhan masing-masing pemerintah daerah, tetapi pemerintah daerah yang memutuskan berapa banyak dan belanja pendidikan apa yang diperlukan. Konsep kedua berkenaan dengan pergeseran berbagai keputusan pendidikan dari pemerintah ke masyarakat. Ide dasar di balik konsep ini, bahwa masyarakat harus lebih tahu dan memutuskan sendiri program pendidikan yang dikehendaki karena masyarakatlah yang akan memanfaatkannya.
Dengan dua konsep tersebut maka lebih dijelaskan kembali bahwa tujuan utama desentralisasi pendidikan adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Ada semacam konsenseus global, khususnya di kalangan negara berkembang, bahwa melakukan desentralisasi adalah cara terbaik untuk meningkatkan mutu pendidikan. Karena mutu pendidikan ditentukan oleh banyak faktor yang saling terkait, maka desentralisasi pendidikan melibatkan pendelegasian keputusan tentang beberapa faktor. Menurut Depdiknas fungsi-fungsi yang dapat didesentralisasikan ke sekolah[11] adalah sebagai berikut :
a.    Perencanaan dan evaluasi program sekolah
Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, misalnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah.Sekolah juga diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi internal dan evaluasi diri.
b.   pengelolaan kurikulum
Sekolah diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh pemerintah pusat.
c.    pengelolaan proses belajar
 Sekolah diberi kebebasan untuk memilih strategi, metode dan tehnik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.
d.   pengelolaan ketenagaan
Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan, sangsi, hubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah dapat dilakukan oleh sekolah kecuali guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.
e.    pengelolaan peralatan dan perlengkapan
Pengelolaan fasilitas seharusnya dilakukan oleh sekolah mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan hingga pengembangannya. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas baik kecukupan, kesesuaian dan kemutakhirannya terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
f.    pengelolaan keuangan
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian atau penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah.Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan, sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
g. pelayanan siswa
Pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni telah didesentralisasikan.
g.   hubungan sekolah dan masyarakat
Esensi hubungan sekolah dan masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang sudah merupakan kewenangan sekolah, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensinya.
h.   pengelolaan iklim sekolah
Iklim sekolah yang kondusif untuk melakukan kegiatan akademik merupakan prasayarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa adalah contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa.Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah dan yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensinya.

D.    Kewenangan Pemerintah Pusat dan Propinsi di Bidang Pendidikan
Pemerintah pusat masih mempertahankan bentuk-bentuk kewenangan di dunia pendidikan. Hal ini terlihat jelas pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi, khususnya pada pasal 2, butir 11, terdapat tujuh hal yang penetapannya masih digenggam oleh pemerintah pusat, yaitu :
1.      Menetapkan standar kompetensi siswa;
2.      Menetapkan standar materi pelajaran pokok;
3.      Menetapkan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik;
4.      Menetapkan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan;
5.      Menetapkan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa;
6.      Menetapkan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah; dan,
7.      Mengatur dan mengembangkan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh, serta mengatur sekolah internasional.[12]
Pemerintah provinsi memiliki kewenangan sebagai berikut :
1.      Menetapkan kebijakan penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas,terbelakang dan atau tidak mampu;
2.      Menyediakan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul pendidikan untuk TK, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar sekolah;
3.      Mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi, selain pengaturan kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga akademis; dan,
4.       Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi, penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/ atau penataran guru.[13]

Pemberlakuan UU Otonomi Daerah yang dimulai dengan diterapkannya
UU Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian disempurnakan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan dengan diserahkannya sejumlah kewenangan yang semula menjadi urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, mengakibatkan terjadinya perubahan dalam berbagai aspek pembangunan di Indonesia, termasuk juga dalam aspek pendidikan.
Kewenangan yang telah diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tersebut juga membawa perubahan struktur dalam pengelolaan pendidikan, dan berlaku juga pada penentuan stakeholders di dalamnya. Dimana dalam pelaksanaan desentrlisasi pendidikan ini memerlukan the stakeholders society, yakni masyarakat yang anggotanya mempunyai kepentingan[14] bersama untuk membangun masyarakatnya sendiri, yang meliputi: 1) masyarakat lokal; 2) orang tua; 3) peserta didik; 4) negara; 5) pengelola profesional pendidikan. Jika pada masa sebelum diberlakukannya otonomi daerah, stakeholders pendidikan sepenuhnya berada di tangan aparat pusat, maka di era otonomi pendidikan sekarang ini peranan sebagai stakeholdersakan tersebar kepada berbagai pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini fungsi negara juga bukan  lagi sebagai penguasa atau sebagai pemegang kekuasaan tunggal yang bertujuan  melestarikan kekuasaan negara, tetapi sebagai partner yang memfasilitasi proses pendidikan yang disepakati bersama.
Dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan juga dibutuhkan adanya Kolaborasi antara ketiga pelaku utama pendidikan, yaitu pemerintah daerah, pihak sekolah dan masyarakat.Ketiga pelaku utama pendidikan tersebut berfungsi dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan serta evaluasi dengan manajemen yang lebih baik.
Namun, terdapat permasalahan mendasar pada pendidikan di Indonesia yaitu rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidkan dasar dan menengah.Sediktnya ada 3 faktor utama yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan yang merata.Berikut penjelasannya.
Faktor pertama, kebijakan penyelenggaraan nasional menggunakan pendekatan input-output analisis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Maksudnya yaitu lembaga pendidkan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini gagal karena kurang memperhatikan proses pendidikan.
Faktor kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik, sehingga sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung kepada keputusan birokratis yang mempunyai jalur yang panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kodisi sekolah setempat.Dengan demikian sekolah kehilangan kemandirian, motivasi dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikannya.
Faktor ketiga, peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim. Partisipasi masyarakat lebih banyak bersifat dukungan input (dana), bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi dan akuntabilitas)[15].
Permasalahan pendidikan ini seyogyanya perlu dikaji kembali, bila perlu dalam perspektif sosiologis karena pendidikan tidak hanya sebagai produk tetapi sebagai proses yang menyangkut hasil interaksi sosial antar berbagai elemen-elemen dalam masyarakat. Oleh karenanya pemberian otonomi yang luas pada sekolah merupakan bentuk kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum.
Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan otonomi yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri.Dengan kemandiriannya, sekolah lebih mampu mengembangkan program-program yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Demikian juga dengan pengambilan keputusan partisipatif, yaitu pelibatan warga sekolah secara langsung dalam pengambilan keputusan, maka rasa memiliki warga sekolah akan meningkat. Adanya peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan rasa tanggung jawab dan peningkatan rasa tanggung jawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah terhadap sekolahnya.
Kebijakan otonomi daerah, bagaimanapun akan membawa implikasi yang besar dalam berbagai tatanan pemerintahan, baik pusat maupun daerah, tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Meskipun pendidikan merupakan salah satu kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah. Namun dalam penyelenggaraannya ternyata banyak mengalami persoalan, meskipun hal ini bukan merupakan alasan orang untuk menyalahkan kebijakan otonomi daerah, sebab pada dasarnya pelaksanaan sebuah kebijakan lebih banyak bertumpu pada kesiapan daerah itu sendiri, terutama menyangkut sumber daya manusia daerah dan pemahaman orang terhadap otonomi daerah sendiri.

















VI. PENUTUP
A.    Kesimpulan
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga desentralisasi pendidikan yaitu pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah beserta masyarakat, pengelola dan pengguna pendidikan itu sendiri, untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusan sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan dengan mengacu kepada Sistem Pendidikan Nasional.
Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk meningkatkan kualitas atau mutu pendidikan yang ada di indonesia. Berikut fungsi-fungsi yang dapat didesentralisasikan ke sekolah agar tercapai tujuan tersebut, diantaranya yaitu: Perencanaan dan evaluasi program sekolah, pengelolaan proses belajar, pengelolaan kurikulum, pengelolaan ketenagaan, pengelolaan peralatan dan perlengkapan, pengelolaan keuangan dan lainnya.
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia yaitu dengan diserahkannya otonomi yang lebih besar pada daerah-daerah yang kemudian dilanjutkan ke lembaga pendidikan atau sekolah, maka sekolah memiliki kewenangan otonomi yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih mampu mengembangkan program-program yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya.Dan dalam pelaksanaanya perlu adanya pengambilan keputusan yang bersifat partisipatif, demi tercapainya tujuan pendidikan nasional.

A.    Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, tentang desentralisasi sistem pendidikan nasional.Kami menyadari bahwa dalam penyusunan maupun isi dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan guna perbaikan makalah yang selanjutnya.Semoga makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat bagi kita semua.Amin.



DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, Armida S. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan. Bandung: Universitas Padjajaran. 2000.
Dwiningrum, Siti Irene Astuti. Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011.
 Halim, Abdul. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP AMP YPKN. 2010.
Hasbullah.Otonomi Pendidikan, Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada. 2006.
Hidayat, Ara dan Imam Machali.Pengelolaan Pendidikan Konsep,Prinsip dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah. Bandung: Pustaka Educa. 2010.
Salim, Agus. Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia, Cetakan ke-2. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2007.
Sirozi, M. Politik Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2005.
Sufyarman, M. Kapita selekta Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta. 2003.
http://alaik-literatur.blogspot.com/2008/07/bab-i-pendahuluan.html (diakses tanggal 10-09-2013 11:07 WIB)




[1] Hasbullah, Otonomi Pendidikan (Kebijakan otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2006),hlm.2.
[2]Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm.1.
[3]Ara Hidayatdan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan Konsep,Prinsip dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah,(Bandung: Pustaka Educa, 2010). hlm.55.
[4]Ara Hidayat dan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan, hlm.54.
[5]Ara Hidayat dan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan, hlm.55.
[6]M. Sirozi, Politik Pendidikan, (Jakarta: PTRaja Grafindo Persada, 2005), hlm. 83.
[7]Abdul Halim, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, (Yogyakarta, UPP AMP YPKN, 2010), hlm. 15.
[8]M. Sufyarman, Kapita selekta Manajemen Pendidikan , (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm. 83.
[9]Armida S. Alisjahbana, Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan, (Bandung, Universitas Padjajaran, 2000), hlm. 2.
[10]M. Sirozi, Politik Pendidikan ,hlm. 234.
[13]Agus Salim, Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia, Cetakan ke-2, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), hlm. 270.

[14]Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm.11.
[15]Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan,hlm.12-13
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar