Pengertian Al-Hakim
MAKALAH
DisusunGunaMemenuhiTugas
Mata Kuliah: Tafsir
DosenPengampu: Bapak Saefudin Zuhri
Disusunoleh:
Sandi Milzam
Fortuna 123311037
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.PENDAHULUAN
Allah SWT telah menciptakan dalam
diri manusia potensi kehidupan yang berupa kebutuhan naluri yang terdiri dari naluri beragama, naluri
yang mempertahankan diri serta naluri melangsungkan kehidupan. Disamping itu Allah
SWT juga telah menciptakan potensi kehidupan lainnya yang berupa kehidupan
jasmani dan rohani.
Dengan adanya potensi
kehidupanberupa kebutuhan jasmani dan rohani inilah manusia menjalani
kehidupannya sehari hari atau dengan kata lain apapun yang dilakukan manusia
selama hidup didunia adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.
Agar seluruh pemenuhan kebutuhan
tersebut berjalan dengan baik dan menghasilkan ketenangan, ketentraman, dan
kebahagiaan, maka manusia harus terlebih dahulu mengetahui baik atau buruk ,
serta apakah mendatangkan manfaat atau
memberikan mudharat baik didunia maupun diakhirat. Untuk itu manusia harus
terlebih dahulu mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan status hukum dan
pembuat hukum yang dilihat dari sisi baik atau buruk terhadap perbuatan manusia.Dan
manusia juga harus mengetahui siapa pihak yang berhak menjatuhkan hukum ataupun
ketetapan.
Dalam hal ini manusia harus
mengetahui apa itu AL HAKIM, oleh karena itu disini kita akan membahasnya.
II.RUMUSAN
MASALAH
1.
Apakah
pengertian Al Hakim?
2.
Bagaimana
hubungan antara akal dan wahyu?
3.
Seperti
apa pandangan ulama tentang Al Hakim?
4.
Bagaimana
kedudukan akal terhadap wahyu?
5.
Apa
saja sumber hukum selain nas dan al hakim dalam fiqih?
III.PEMBAHASAN
A.Pengertian
Al Hakim
Bila ditinjau dari segi bahasa hakim
mempunyai dua arti, yaitu;
Ùˆَاضِعُ الْاَØْÙƒَا Ù…ِ ÙˆَÙ…ُØ«ْبِتُÙ‡َا ÙˆَÙ…ُÙ†ْØ´ِئُÙ‡َا ÙˆَÙ…َصْدَ رُÙ‡َا
Artinya:
“Pembuat hukum yang menetapkan ,memunculkan
sumber hukum”[1]
Hakim termasuk persoalan yang cukup penting
dalam ushul fiqih, sebab berkaitan
dengan pembuatan hukum dalam syari’at islam, atau pembentuk hukum syara’, yang
mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ilmu ushul fiqih, hakim juga disebut dengan syar’i.
Disepakati bahwa wahyu merupakan sumber
syari’at.Adapun sebelum datangnya wahyu, para ulama memperselisihkan peranan
akal dalam menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang berbuat baik diberi
pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi.
Dari pengrtian pertama tentang hakim
diatas,dapat diketahui bahwa hakim adalah Allah SWT. Dia_lah pembuat hukum dan
satu satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT.
Baik yang brkaitan dengan hukum hukum taklif
(wajib, sunah, haram, makruh, mubah),maupun yang berkaitan dengan hukum wadh’I
(sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, azimah, dan rukhsoh). Menurut
kesepakatan para ulama, semua hukum diatas bersumber dari Allah SWT.Melalui
nabi Muhammad SAW, maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori
istinbath, separti qiyas, ijma’, dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap
hukum yang datang dari Allah SWT.
B.Hubungan
Antara Akal Dan Wahyu
Sebelum membahas
lebih lanjut mengenai hubungan antara akal dan wahyu ,Alangkah lebih baiknya
kita mengetahui apa itu definisi akal dan juga definisi wahyu.
Kata
akal berasal dari dari bahasa arab,yaitual-aql yang berarti al-hijr
(menahan),juga berarti al-nuha (cerdas) . Lafadz aqala –ya’qilu –aqlan
yang berarti habasa (menahan ).Disebut aql (akal) karena akal itu mengikat
pemiliknya dari kehancuran ,akal itu sebagai pembeda karena dialah yang
membedakan dengan semua hewan.[2]
Sedangkan
pengertian akal menurut istilah ,Endang Saefudin Anshari mendefinisikan akal adalah
suatu potensi rohaniah manusia yang berkesanggupan untuk mengerti sedikit
secara realitas kosmis yang mengelilinya dalam mana ia sendiri juga termasuk
,dan secara praktis merubah dan mempengaruhinya .[3]
Akal
dalam pengertian islam ,tidaklah otak, tetapi adalah daya berpikir yang
terdapat dalam jiwa manusia;daya yang digambarkan dalam al-Qur’an memperoleh
pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya.Akal dalam pengertian inilah
yang dipersoalkan dalam islam kaitannya dengan wahyu yang membawa pengetahuan
dari luar diri manusia yaitu Tuhan.
Sedangkan
pengertian wahyu ,wahyu diri berasal dari kata bahasa arab al-wahyi(suara ,api ,dan kecepatan ).Disamping itu ia juga
mengandung arti bisikan ,isyarat ,tulisan ,dan kitab. Al-wahyi
selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan
cepat.Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “ apa yang disampaikan Tuhan
kepada nabi-nabi”. Dalam kata wahyu yang demikian terkandung arti penyampaian
sabda Tuhan kepada orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk
dijadikan pegangan hidup.
Ada
beberapa pandangan dari para ulama’ mengenai hubungan antara akal daan wahyu
,diantanya:
1.Menurut syekh M.Abduh
Al Qur’an memerintahkan umat manusia untuk berfikir dan menggunakan akal
fikiran tentang gejala-gejala alam yang ada didepannya dan rahasia rahasia alam
yang mungkin ditembus, untuk memperoleh keyakinan tentang apa yang ditunjukkan
tuhan kepada manusia. Al Qur’an melarang manusia untuk bertaqlid, sewaktu
menceritakan tentang umat-umat yang terdahulu.Yang dicela karena manusia merasa
cukup mengikuti nenek moyang mereka.
Manusia meyakini bahwa agama islam
adalah agam kesatuan (tauhid)dalam segi- segi kepercayaan, bukan agama
perpecahan dalam soal-soal pokok (prinsip). Akal pikiran menjadi kawan islam
yang terkuat, dan dalil naqli menjadi tiangnya yang utama,
Akal sebagai daya berfikir yang ada
dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada Tuhan, dan wahyu sebagai
pengkhobaran dari alam metamorfisika turun kepada manusia dengan
keterangan-keterangan tentang tuhan dan kewajiban-kewajiban manusiaterhadap Tuhan.Jadi
antara akal dan wahyu tidaklah bertentangan.Keduanya harus difungsikan secara
optimal sesuai dengan kedudukannya.
2.Menurut Harun Nasution.
Akal melambangkan kekuatan manusia.
Karena akal manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukan kekuatan makhluk
lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia bertambah tinggi pula kesanggupan
untuk mengalahkan makhluk lain, sebaliknya bertambah rendah akal manusia
bertambah rendah pula kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain.
Salah satu ppemikiran Harun Nasution
adlah hubungan antara akal dan wahyu.Iamenjelaskan bahwa hubungan antara akal
dan wahyu sering menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak
bertentangan.Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dlam Al Qur’an.
Dalam pemikiran islam, baik dibidang
flsafat, ilmu kalam, maupun ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu.
Akan tetapi akal tetaptunduk pada wahyu, dan akal juga dipakai untuk memahami
teks wahyu dan tidak menentang wahyu.
C.pandangan
ulama’ mengenai Al-Hakim
Terjadi banyak perbedaan pendapat mengenai
al-hakim,yang menjadi pokok permasalahan atau yang menjadi persoalan adalah
siapa yang menjadi hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum rasul diutus.
Adapun
beberapa pandangan itu diantaranya datang dari golongan mu’tazilah berpendapat
bahwa sebelum rasul diutus,akal manusia itulah yang menjadi hakim,karena akal
manusia dapat mngetahui baik atau buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya
atau karena sifatnya.
Sedangkan
pendapat dari golongan Al-Asy’ariyah berpendapat bahwa sebelum datangnya
syara’,maka tidak diberi sesuatu hukum perbuatan-perbuatan mukallaf.Titik
persoalan antara golongan mu’tazilah dan al-Asy’ariyah adalah tentang apakah
perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala dan siksa,tergantung pada perbuatan,
walaupun syara’ belum menerangkannya. Sedangkan golongan jumhur ulama’
berpendapat bahwa tidak disiksa atau tidak diberi pahala manusia sebelum
datangnya syara’,kendati akal bisa mengetahui baik buruknya suatu perbuatan.[4]
Mengenai masalah akal yang mampu mengetahui
hal yang baik dan juga buruknya suatu perbuatan ,ada perbedaan pandangan lagi
dari ulama’ ,yaitu:
1.Kelompok Asya’ariyah(Ahlusunnah)
Berpendapat bahwa bahwa suatu
perbuatan dari segi perbuatan itu sendiri tidak dapat di nilai baik atau buruk,
oleh karena akal manusia tidak dapat mangetahui baik dan buruknya suatu
perbuatan. Baik dan buruknya suatu perbuatan terletak pada disuruh atau
dilarangnya perbuatan perbuatan itu oleh Allah melalui wahyunya. Setiap perbuatan yang disuruh Allah
melakukan menunjukan bahwa perbuatan itu adalah baik, dan setiap perbuatan yang
dilarang oleh Allah untuk melakukannya menunjukan bahwa perbuatan itu adalah
buruk.Dengan demikian baik buruknya suatu perbuatan hanya ditentukan oleh Allah
dengan wahyunya, dan akal manusia tidak dapat mengenalnya.
Bila akal manusia tidak dapat
mengenal baik atau buruknya suatu perbuatan, maka dengan sendurinya akal
manusia juga tidak dapat mendorong manusia untuk berbuat maupun tidak berbuat.
Wahyu Allah-lah yang dapat menetapkan baik atau buruknya suatu perbuatan dan hanya
wahyu pula yang dapat menyuruh atau melarang manusia, daan hanya ditetapkan
oleh Allah melalui Rasul-Nya
2.Kelompok Mu’tazilah
Berpendapat bahwa suatu perbuatan
dari materi perbuatan itu sendiri mengandung nilai biak atau buruk. Akal
manusia dapat mengutahui nilai baik atau buruk. Suatu perbuatan akan dinilai
baik oleh akal bila perbuatan itu disenangi oleh manusia, baik langsunng
dirasakannya pada waktu itu atau di kemudian hari.
Bila akal dapat mengetahui baik atau
buruknya suatu perbuatan,maka sebagai kelanjutannya akal memahami pula bahwa
suatu perbuatan yang baik itu harus di laksanakan, dan suatu perbuatan yang
buruk harus di tinggalkan. Alasannya ialah bahwa akal manusia dapat memahami
berdasarkan keyakinan akan keadilan Allah,
bahwa A llah tidak mungkin membiarkan Sesutu yang buruk dilakukan oleh
manusia dan tidak mungkin mencegah manusia melakukan suatu perbnuatan yang baik
. D engan demikian,keharusan berbuat atau tidak berbuat sudah ada meskipun
wahyu belum di turunkan oleh Allah. Di antara fungsi wahyu yang datang kemudian
adalah untuk mengokohkan apa yang telah diketahui dan ditetapkan oleh akal. Dan
dari pendapat ini ialah adanya taklif sebelum datanya Rosul.Seorang manusia
tela di anggap berdosa karena melakukan perbuatan buruk atau berpahala jika
melakukanperbuatan baik sebelum wahyu di turunkan Allah dan Rosul-Nya.
3.Kelompok Maturidiyah
Berpendapat bahwa suatu perbuatan
dengan semata melihat pada materi perbuatan itu mempunyai nilai baik dan
buruk.Karena itu akal dapat menetapkan perbuatan itu baik atau buruk. Dapat di
fahami bahea A llah tidak akan membiarkan manusia melakikan perbuatan buruk dan
tidak akan mencegah manusia melakukan perbuatan baik. Dalam hal ini kelompok
Maturidiyah sependapat degan kelompok Mu’tazilah.
Mengenai yang berhubungan atau
taklif atau beban hukum, kelompok ini berpendapat bahwa akal semata tidak akan
dapat menetatkan seseorang harus melakukan perbuatan baik atau harus
meninggalkan perbuatan buruk. Persoalan
taklif, dosa dan pahal ahanya ditetapkan oleh wahyu Allah atau cara
menghubungkan kepada wahyu yang telah ada menurut cara-cara tertentu.
Dikalangan ulama fiqih kelompok ahli
sunah, hanafiah, mengikuti aliran maturidiyah dalam penilaian baik dan buruk,
juga dalam hal taklif.Berdasarerkan pendapat ini maslahat dan mafsadat dapat
dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum.Namun penetapan hukum itu baru
berlaku efektif bila mendapat pengakuan dari wahyu, baik secara langsung atau
tidak.Maslahat inilah yang dikalangan ulama ushul ahlussunah yang disebut maslahat mu’tabarah.Kelompok ulama
syi’ah Imamiyah sependapat dengan Mu’tazilah dalam menetapkan akal sebagai
sesuatu yang dapat menilai baik atau buruknyasuatu perbuatan dan menetakpkan
taklif dalam hak wahyu tidak ada.[5]
D.Kedudukan
Akal Terhadap Wahyu
Wahyu adalah nash yang berasal dari
Tuhan ,dan tentunya tidak mungkin salah. Kita harus mengetahui bahwa dalam
kajian al-hakim ini,yang menjadi al-hakim yang khaqiqi adalah Allah swt.Semua
ulama’ sepakat menyatakan ,hanya Allah yang berhak mencipta dan menetapkan
perintah dan larangan ,dan sejalan dengan hal itu ,hamba-hamba –Nya wajib
tunduk dan mematuhi perintah dan larangan-Nya.Namun ,selain digunakan istilah
al-hakim untuk menunjukkan pengertian bahwa Allah lah dzat pembuat hukum
satu-satunya,dikenal pula istilah as-syari’(pembuat syariat).Dalam hal
ini,istilah al-hakim dan as-syari’ selain bermakna Allah sebagai pencipta
hukum,harus pula ditambahkan rasulullah ,bukan karena beliau memiliki hak
otonom untuk membuat hukum dan syariat ,tetapi karena beliau diberi tugas yaitu menjelaskan aturan hukum syariat yang juga bersumber dari
Allah.Dalam konteks ini,dikenal dua macam bentuk wahyu yang disampaikan kepada
Rasulullah ,yaitu wahyu matluwk(wahyu yang dibacakan/al-qur’an ) dan
wahyu ghoiru matluw(wahyu yang tidak dibacakan/as sunnah).
Pada hakikatnya
,tidak ada satu pun perbuatan manusia yang tidak ada hukumnya,karena segala
sesuatu telah ditentukan hukumnya oleh Allah melalui al-Qur’an dan hadis
Rasul-Nya.hanya saja ,hukum yang telah ditetapkan itu ,ada yang sudah jelas
hukumnya dan ada yang belum jelas hukumnya.dan disinilah kedudukan atau peran
akal sangat dibutuhkan yaitu dalam menggali hukum yang tersembunyi itu ,dan
peran akal yaitu sebagai al-munzhir li al-hukm (yang membuat hukum itu menjadi
nyata dan jelas).[6]
E.Sumber
Hukum Selain Nas dan Al Hakim
Dalam islam ,sumber hukum yang pokok
dan utama dalah al-Qur’an dan juga hadis.Namun seperti yang telah diuraikan
tadi ada wahyu yang sudah jelas dan ada wahyu yang belum jelas . Dan penafsiran
,juga pemkiran akal dari wahyu yang belum jelas tersebut melahirkan sumber
hukum yang lain dalam islam diantaranya:
a.
Ijma’
Ijma’ dalam
istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum
muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul SAW atas hukum syara’.
Ijma’ harus memenuhi persyaratan yaitu :
1.
Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang
mujtahid saja.
2.
Adanya kesepakatan sesama para
mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah.
3.
Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap
pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam
bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
4.
Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada
semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan
kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan
jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak
itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.
Adapun kehujjahan ijma’ untuk dijadikan sumber
hukum ,ada beberapa perbedaan pendapat dari kalangan ulama’.
Al bardawi berpendapat bahwa orang –orang Hawa
tidak menjadikan ijma’ itu sebagai hujjah,bahkan dalam syarah-nya dia
mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah
secara mutlaq.
Menurut Al-amidi paraulam’ telah sepakat
mengenai ijma’ sebagai hujjah yang wajib diamalkan.pendapat tersebut bertentangan syiah ,khowarij,dan nizam dari
golongan mu’tazilah.[7]
b.
Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu
dengan yang lainya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya.Qiyas secara
umum dapat dapat didefinisikan sebagai suatu proses penyingkapan kesamaan hukum
suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash,dengan suatu hukum yang
disebutkan dalam nash karana adanya kesamaan dalam illat-nya. Contoh
mengqiyaskan hukuman dera bagi orang yang menuduh laki-laki berzina dengan hukum dera bagi mereka yang menuduh
zina kepada wanita –wanita yang sudah berkeluarga.
Adapun rukun Qiyas ada empat yaitu :
1.
Ashl (suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya
yang dijadikan tempat meng-qiyas-kan .
2.
Far’u (peristiwa yang tidak ada nash-nya)
3.
Hukum ashl (hukum syara’,yang ditetapkan oleh
suatu nash)
4.
Illat (suatu sifat yang terdapat pada ashl)
Adapun kehujahan qiyas sebagai sumber
hukum,terdapat pandangan yang berbeda-beda pula. Ada yang membolehkannya dan
ada yang melarangnya ,seperti Golongan syafii ,Hambali ,dan golongan zahir
berpendapat boleh menggunakan qiyas sebagai hujjah.[8].Dan kehujjahan Qiyas menurut Jumhur ulama kaum
muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum
yang keempat dari sumber hukum yang lain. Hal ini dapat diperoleh dengan
mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
c.
Istihsan
Menurut bahasa
istihsan artinya menganggap sesuatu itu baik,memperhitungkansesuatu lebih baik
. menurut istilah ulama’ ushul fiqh adalah berpaling seorang mujtahid dari
tuntutan qiyas yang jali(nyata) kepada tuntutan qiyas yang khaofi(samar) atau
dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnaiy( pengecualian) ada dalil yang
menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini .Atau
meninggalkan hukum yang jelas ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian
yang ditetapkan berdasarkan dalail syara’,menuju (menetapkan) hukum lain dari
peristiwa atau kejadian itu juga. Contoh dari istihsan adalah madzab hanafi
yang menganggap rusaknya sholat seorang laki yang berhadapan dengan perempuan.
Adapun
kehujahan istihsan dalam sumber hukum berbeda-beda pula,ada yang
memperbolehkannya juga ada yang tidak memperbolehkannya,diantaranya;
Ada yang menganggapnya sebagai
sumber hukum. Diantara ulama yang beranggapan sebagai sumber hukum adalah Imam
Hanafi dan Imam Malik sekalipun ia tidak terlalu membedakan antara istihsan
dengan Maslahah Mursalah, sehingga beliau menyatakan bahwa istihsan telah
merambah sampai 9/10 ilmu fiqh.
Menganggap
bukan sebagai sumber hukum.Diantara ulama yang menolaknya sebagai sumber hukum
adalah Imam Syafi’i. Dalam bukunya ”Ar Risalah” beliau menyatakan bahwa haram
bagi seseorang untuk mengatakan sesutau atas dasar Istihsan. Karena Istihsan
hanyalah talazzuz. Beliau juga berkata ”Barang siapa yang beristihsan sungguh ia telah membuat syariat.
d.
Istishab
Istishab
menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang ada hubungannya”. Menurut
istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang pada hukum yang telah ada dari suatu
peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau
dengan kata lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada
dalil yang mengubah ketetapan hukum tersebut.
Contoh Istishab:
Telah
terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah
dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah
itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin
dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada
perubahan hukum perkawinan mereka valaupun mereka telah lama berpisah.
Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara
A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.
Terjadi perbedaan
pendapat tentang kehujahan istishab ,ada yang memperbolehkannya juga ada yang
tidak memperbolehkannya ,seperti ulama’ malikiyah ,Syafiiyah, zahiriyah ,dan
syiah memperbolehkan berhujjah dengan istishab .Alasannya bahwa sesuatu yang
telah ditetapkan pada masa lalu ,selama tidak ada dalil yang mengubahnya baik
secara qath’I maupun zhanny,maka hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus
,karena diduga keras belum ada perubahannya.
e. Maslahat mursalah
Mashlahat mursalah yaitu suatu kemaslahatan
yang tidak disinggung oleh syara' dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang
menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan
mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan.Diantara contoh mashlahat
mursalah ialah usaha Khalifah Abu Bakar mengumpulkan al-Qur'an yang terkenal
dengan jam'ul Qur'an. Adapun kehujjahannya ,imam syafi’I memperbolehkan
berhujjah dengan maslahat mursalah.
f. Urf
Urf adalahSebuah hal yang menjadi kebiasaan
manusia dan yang merreka selalu melaksanakannya baik berupa pekerjaan atau
perkataan yang di tetapkan pada arti tertentu.
Adapun kehujjahan
ur’f sebagai sumber hukum berpeda-beda pendapat pula.Madzhab maliki dan hanafi
sepakat bahwa penetapan hukum dengan ‘uruf yang benar dengan adanya dalil
syar’i di perbolehkan.
Sedangkan Para ulama’ bersepakat bahwa ‘uruf
merupakan dalil sekiranya tidak ditemukan dalam nash alquran dan
assunnah.
g. Madhzab sahabi
Pengertian madzab sahabi sendiri adalah fatwa
yang dikeluarkan sahabat secara perorangan.
Beberapa pendapat
tentang madzhb shohaby:
1. Tidak bisa di pakai sebagai hujjah sama sekali,
ini pendapat dari jumhur dan qoul jadid imam syafi’i.
2. Di dahulukan sebagai hujjah daripada qiyas, ini
pendapat dari imam malik, kebanyakan ulama’ hanafi dan qaul qadim imam syafi’i.
3. Menjadi hujjah apabila menyimpan qiyas dan di
dahulukan dari qiyas yang tidak menyimpan qaulus shohaby.[9]
h. Dzaro’i
Secara bahasa adalah alat penghubung atau jalan penghubung pada sessuatu.
Menurut ulama’ ushul
dan syariat adalah sesuatu yang menjadi alat atau jalan pada perkara yang
diharamkan atau dihalakan untuk di ambil hukum darinya.Maka, jalan menuju
perkara yang di haramkan adalah haram, yang di perbolehkan adalah mubah dan
sesuatu yang tanpanya perkara wajib tidak terlaksana maka, hukumnya wajib.
Contoh dzaro’I :
melarang berjudi yang tidak menngunakan taruhan,karena dikhawatirkan akan masuk
pada perjudian yang sebenarnya.
Adapun
Kehujjahan dzaroi’ adalah sebagai berikut:
1) Imam malik dan
imam ahmad menjadikan dzaroi’ sebagai salah satu sumber hukum fiqh, ibnu
qayyim beerkata: “saddud dzaroi’ adalah ¼ agama”.
2) Imam syafii dan
imam hanafi terkadng memakai dan terkadang tidak.
3) Ibnu hazm saama
sekali tidak memakai dzaroi’.
i.
Syar’un
Man qoblana
Syar’un man qablana
adalah syariat yang dibawa oleh para rasul terdahulu, sebelum diutus Nabi
Muhammad SAW. Jika Al-qur’an atau sunnah yang shohih mengisahkan suatu hukum
yang telah disyariatkan pada umat yang terdahulu melalui para rasul,kemudian
nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagai mana diwajibkan kepada mereka,maka
tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut ditunjukkan juga kepada kita
seperti syariat tentang puasa .
Namun sebaliknya
bila dikisahkan suatu syariat yang telah ditetapkan kepada orang-orang
terdahulu,namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita,para ulama’ sepakat
bahwa hukum tersebut tidak disyariatkan kepada kita,seperti syariat Nabi Musa
bahwa seorang yang berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya keculai dengan
membunuh dirinya dan jika ada najis yang menempel pada tubuh tidak akan suci
kecuali dengan memotong anggota badan tersebut .[10]
IV.KESIMPULAN
Al-hakim adalah
pembuat hukum,dalam hal ini adalah Allah swt lah sebagai pembuat hukum yang
mutlaq. Dalam hal ini akal manusia pun berperan dalam memperjelas dan
menerangkan wahyu dari al-hakim yang belum jelas maksudnya. Selain Al-qur’an
dan juga As-sunah sumber hukum islam adalah
ijma’,qiyas,istihsan,istishab,urf,dzaroi,syar’un man qoblana,madzab sahabi.
V.PENUTUP
Demikian makalah yang dapat pemakalah sampaikan.Dalam
penyusunan makalah kami yakin masih terdapat kesalahn dan kekurangan, untuk itu
kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.Mohon maaf
apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini.Semoga
makalah ini dapat bermanfaat pembaca dan khususnya kami sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan,Abddur
Rahman.Ushul Fiqh.Jakarta:Bumi Aksara.2011
http//
cerdas.net.sumber hukum selain nash.com
Jumantoro,Totok
dan Samsul Munir Amin.Kamus Ilmu Ushul Fiqih .Jakarta:Bumi Aksara,2009.
Syafi”ie,
Rachmat.Ilmu Ushul Fiqh.Bandung:Pustaka Setia.2010.
Zuhri,Syaefudin.Ushul
Fiqih .Yogyakarta:Pustaka Pelajar.2011.
[1]Prof.Dr.Rachmat Syafe’i,MA.Ilmu Ushul Fiiqih.(Bandung:CV
Pustaka Setia,2010)halm.345.
[2]Dr.H.Saefudun zuhri ,M.A.,Ushul Fiqh .(Yogyakarta:Pustaka Belajar).2011.hal.29.
[3]Dr.H.Saefudun zuhri ,M.A.,Ushul Fiqh .(Yogyakarta:Pustaka Belajar).2011.hal.30.
[4] Drs.Totok Jumantoro,M.A dan Drs.Samsul Munir M.Ag.Kamus Ilmu Ushul
Fiqih.(Jakarta:Bumi Aksara.2009).hal.76-77.
[5]Dr.Abd.Rahman
Dahlan .M.A. ushul fiqh.(Jakarta:Bumi aksara.2011).halm.89-91.
[6]Dr.Abd.Rahman
Dahlan .M.A. ushul fiqh.(Jakarta:Bumi aksara.2011).halm.88-89.
[9]http//
cerdas.net.sumber hukum.com.1 Okt 2012. 16.00.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar