Rabu, 10 Juni 2015

Pengertian Al-Hakim



Pengertian Al-Hakim
MAKALAH

DisusunGunaMemenuhiTugas
Mata Kuliah: Tafsir
DosenPengampu: Bapak Saefudin Zuhri



Disusunoleh:

Sandi Milzam Fortuna                     123311037

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013



I.PENDAHULUAN
Allah SWT telah menciptakan dalam diri manusia potensi kehidupan yang berupa kebutuhan naluri  yang terdiri dari naluri beragama, naluri yang mempertahankan diri serta naluri melangsungkan kehidupan. Disamping itu Allah SWT juga telah menciptakan potensi kehidupan lainnya yang berupa kehidupan jasmani dan rohani.
Dengan adanya potensi kehidupanberupa kebutuhan jasmani dan rohani inilah manusia menjalani kehidupannya sehari hari atau dengan kata lain apapun yang dilakukan manusia selama hidup didunia adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.
Agar seluruh pemenuhan kebutuhan tersebut berjalan dengan baik dan menghasilkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan, maka manusia harus terlebih dahulu mengetahui baik atau buruk , serta apakah  mendatangkan manfaat atau memberikan mudharat baik didunia maupun diakhirat. Untuk itu manusia harus terlebih dahulu mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan status hukum dan pembuat hukum yang dilihat dari sisi baik atau buruk terhadap perbuatan manusia.Dan manusia juga harus mengetahui siapa pihak yang berhak menjatuhkan hukum ataupun ketetapan.
Dalam hal ini manusia harus mengetahui apa itu AL HAKIM, oleh karena itu disini kita akan membahasnya.

II.RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah pengertian Al Hakim?
2.      Bagaimana hubungan antara akal dan wahyu?
3.      Seperti apa pandangan ulama tentang Al Hakim?
4.      Bagaimana kedudukan akal terhadap wahyu?
5.      Apa saja sumber hukum selain nas dan al hakim dalam fiqih?
III.PEMBAHASAN
A.Pengertian Al Hakim
Bila ditinjau dari segi bahasa hakim mempunyai dua arti, yaitu;
Ùˆَاضِعُ الْاَØ­ْÙƒَا Ù…ِ ÙˆَÙ…ُØ«ْبِتُÙ‡َا ÙˆَÙ…ُÙ†ْØ´ِئُÙ‡َا ÙˆَÙ…َصْدَ رُÙ‡َا
Artinya:
“Pembuat hukum yang menetapkan ,memunculkan sumber hukum”[1]
Hakim termasuk persoalan yang cukup penting dalam ushul fiqih, sebab berkaitan dengan pembuatan hukum dalam syari’at islam, atau pembentuk hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ilmu ushul fiqih, hakim juga disebut dengan syar’i.
Disepakati bahwa wahyu merupakan sumber syari’at.Adapun sebelum datangnya wahyu, para ulama memperselisihkan peranan akal dalam menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi.
Dari pengrtian pertama tentang hakim diatas,dapat diketahui bahwa hakim adalah Allah SWT. Dia_lah pembuat hukum dan satu satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT. Baik yang brkaitan dengan hukum hukum taklif (wajib, sunah, haram, makruh, mubah),maupun yang berkaitan dengan hukum wadh’I (sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, azimah, dan rukhsoh). Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum diatas bersumber dari Allah SWT.Melalui nabi Muhammad SAW, maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbath, separti qiyas, ijma’, dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT.
B.Hubungan Antara Akal Dan Wahyu
            Sebelum membahas lebih lanjut mengenai hubungan antara akal dan wahyu ,Alangkah lebih baiknya kita mengetahui apa itu definisi akal dan juga definisi wahyu.
            Kata akal berasal dari dari bahasa arab,yaitual-aql yang berarti al-hijr (menahan),juga berarti al-nuha (cerdas) . Lafadz aqala –ya’qilu –aqlan yang berarti habasa (menahan ).Disebut aql (akal) karena akal itu mengikat pemiliknya dari kehancuran ,akal itu sebagai pembeda karena dialah yang membedakan dengan semua hewan.[2]
            Sedangkan pengertian akal menurut istilah ,Endang Saefudin Anshari mendefinisikan akal adalah suatu potensi rohaniah manusia yang berkesanggupan untuk mengerti sedikit secara realitas kosmis yang mengelilinya dalam mana ia sendiri juga termasuk ,dan secara praktis merubah dan mempengaruhinya .[3]           
            Akal dalam pengertian islam ,tidaklah otak, tetapi adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia;daya yang digambarkan dalam al-Qur’an memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya.Akal dalam pengertian inilah yang dipersoalkan dalam islam kaitannya dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia yaitu Tuhan.
            Sedangkan pengertian wahyu ,wahyu diri berasal dari kata bahasa arab al-wahyi(suara  ,api ,dan kecepatan ).Disamping itu ia juga mengandung arti bisikan ,isyarat ,tulisan ,dan kitab. Al-wahyi selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat.Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “ apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”. Dalam kata wahyu yang demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup.
            Ada beberapa pandangan dari para ulama’ mengenai hubungan antara akal daan wahyu ,diantanya:
1.Menurut syekh M.Abduh
Al Qur’an memerintahkan umat  manusia untuk berfikir dan menggunakan akal fikiran tentang gejala-gejala alam yang ada didepannya dan rahasia rahasia alam yang mungkin ditembus, untuk memperoleh keyakinan tentang apa yang ditunjukkan tuhan kepada manusia. Al Qur’an melarang manusia untuk bertaqlid, sewaktu menceritakan tentang umat-umat yang terdahulu.Yang dicela karena manusia merasa cukup mengikuti nenek moyang mereka.
Manusia meyakini bahwa agama islam adalah agam kesatuan (tauhid)dalam segi- segi kepercayaan, bukan agama perpecahan dalam soal-soal pokok (prinsip). Akal pikiran menjadi kawan islam yang terkuat, dan dalil naqli menjadi tiangnya yang utama,
Akal sebagai daya berfikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhobaran dari alam metamorfisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang tuhan dan kewajiban-kewajiban manusiaterhadap Tuhan.Jadi antara akal dan wahyu tidaklah bertentangan.Keduanya harus difungsikan secara optimal sesuai dengan kedudukannya.


2.Menurut Harun Nasution.
Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akal manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia bertambah tinggi pula kesanggupan untuk mengalahkan makhluk lain, sebaliknya bertambah rendah akal manusia bertambah rendah pula kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain.
Salah satu ppemikiran Harun Nasution adlah hubungan antara akal dan wahyu.Iamenjelaskan bahwa hubungan antara akal dan wahyu sering menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan.Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dlam Al Qur’an.
Dalam pemikiran islam, baik dibidang flsafat, ilmu kalam, maupun ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akan tetapi akal tetaptunduk pada wahyu, dan akal juga dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak menentang wahyu.
C.pandangan ulama’ mengenai Al-Hakim
            Terjadi banyak perbedaan pendapat mengenai al-hakim,yang menjadi pokok permasalahan atau yang menjadi persoalan adalah siapa yang menjadi hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum rasul diutus.
Adapun beberapa pandangan itu diantaranya datang dari golongan mu’tazilah berpendapat bahwa sebelum rasul diutus,akal manusia itulah yang menjadi hakim,karena akal manusia dapat mngetahui baik atau buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya atau karena sifatnya.
Sedangkan pendapat dari golongan Al-Asy’ariyah berpendapat bahwa sebelum datangnya syara’,maka tidak diberi sesuatu hukum perbuatan-perbuatan mukallaf.Titik persoalan antara golongan mu’tazilah dan al-Asy’ariyah adalah tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala dan siksa,tergantung pada perbuatan, walaupun syara’ belum menerangkannya. Sedangkan golongan jumhur ulama’ berpendapat bahwa tidak disiksa atau tidak diberi pahala manusia sebelum datangnya syara’,kendati akal bisa mengetahui baik buruknya suatu perbuatan.[4]
 Mengenai masalah akal yang mampu mengetahui hal yang baik dan juga buruknya suatu perbuatan ,ada perbedaan pandangan lagi dari ulama’ ,yaitu:
1.Kelompok Asya’ariyah(Ahlusunnah)
Berpendapat bahwa bahwa suatu perbuatan dari segi perbuatan itu sendiri tidak dapat di nilai baik atau buruk, oleh karena akal manusia tidak dapat mangetahui baik dan buruknya suatu perbuatan. Baik dan buruknya suatu perbuatan terletak pada disuruh atau dilarangnya perbuatan perbuatan itu oleh Allah melalui  wahyunya. Setiap perbuatan yang disuruh Allah melakukan menunjukan bahwa perbuatan itu adalah baik, dan setiap perbuatan yang dilarang oleh Allah untuk melakukannya menunjukan bahwa perbuatan itu adalah buruk.Dengan demikian baik buruknya suatu perbuatan hanya ditentukan oleh Allah dengan wahyunya, dan akal manusia tidak dapat mengenalnya.
Bila akal manusia tidak dapat mengenal baik atau buruknya suatu perbuatan, maka dengan sendurinya akal manusia juga tidak dapat mendorong manusia untuk berbuat maupun tidak berbuat. Wahyu Allah-lah yang dapat menetapkan baik atau buruknya suatu perbuatan dan hanya wahyu pula yang dapat menyuruh atau melarang manusia, daan hanya ditetapkan oleh Allah melalui Rasul-Nya


2.Kelompok Mu’tazilah
Berpendapat bahwa suatu perbuatan dari materi perbuatan itu sendiri mengandung nilai biak atau buruk. Akal manusia dapat mengutahui nilai baik atau buruk. Suatu perbuatan akan dinilai baik oleh akal bila perbuatan itu disenangi oleh manusia, baik langsunng dirasakannya pada waktu itu atau di kemudian hari.
Bila akal dapat mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan,maka sebagai kelanjutannya akal memahami pula bahwa suatu perbuatan yang baik itu harus di laksanakan, dan suatu perbuatan yang buruk harus di tinggalkan. Alasannya ialah bahwa akal manusia dapat memahami berdasarkan keyakinan akan keadilan Allah,   bahwa A llah tidak mungkin membiarkan Sesutu yang buruk dilakukan oleh manusia dan tidak mungkin mencegah manusia melakukan suatu perbnuatan yang baik . D engan demikian,keharusan berbuat atau tidak berbuat sudah ada meskipun wahyu belum di turunkan oleh Allah. Di antara fungsi wahyu yang datang kemudian adalah untuk mengokohkan apa yang telah diketahui dan ditetapkan oleh akal. Dan dari pendapat ini ialah adanya taklif sebelum datanya Rosul.Seorang manusia tela di anggap berdosa karena melakukan perbuatan buruk atau berpahala jika melakukanperbuatan baik sebelum wahyu di turunkan Allah dan Rosul-Nya.

3.Kelompok Maturidiyah
Berpendapat bahwa suatu perbuatan dengan semata melihat pada materi perbuatan itu mempunyai nilai baik dan buruk.Karena itu akal dapat menetapkan perbuatan itu baik atau buruk. Dapat di fahami bahea A llah tidak akan membiarkan manusia melakikan perbuatan buruk dan tidak akan mencegah manusia melakukan perbuatan baik. Dalam hal ini kelompok Maturidiyah sependapat degan kelompok Mu’tazilah.
Mengenai yang berhubungan atau taklif atau beban hukum, kelompok ini berpendapat bahwa akal semata tidak akan dapat menetatkan seseorang harus melakukan perbuatan baik atau harus meninggalkan perbuatan  buruk. Persoalan taklif, dosa dan pahal ahanya ditetapkan oleh wahyu Allah atau cara menghubungkan kepada wahyu yang telah ada menurut cara-cara tertentu.
Dikalangan ulama fiqih kelompok ahli sunah, hanafiah, mengikuti aliran maturidiyah dalam penilaian baik dan buruk, juga dalam hal taklif.Berdasarerkan pendapat ini maslahat dan mafsadat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum.Namun penetapan hukum itu baru berlaku efektif bila mendapat pengakuan dari wahyu, baik secara langsung atau tidak.Maslahat inilah yang dikalangan ulama ushul ahlussunah yang disebut maslahat mu’tabarah.Kelompok ulama syi’ah Imamiyah sependapat dengan Mu’tazilah dalam menetapkan akal sebagai sesuatu yang dapat menilai baik atau buruknyasuatu perbuatan dan menetakpkan taklif dalam hak wahyu tidak ada.[5]
D.Kedudukan Akal Terhadap Wahyu
Wahyu adalah nash yang berasal dari Tuhan ,dan tentunya tidak mungkin salah. Kita harus mengetahui bahwa dalam kajian al-hakim ini,yang menjadi al-hakim yang khaqiqi adalah Allah swt.Semua ulama’ sepakat menyatakan ,hanya Allah yang berhak mencipta dan menetapkan perintah dan larangan ,dan sejalan dengan hal itu ,hamba-hamba –Nya wajib tunduk dan mematuhi perintah dan larangan-Nya.Namun ,selain digunakan istilah al-hakim untuk menunjukkan pengertian bahwa Allah lah dzat pembuat hukum satu-satunya,dikenal pula istilah as-syari’(pembuat syariat).Dalam hal ini,istilah al-hakim dan as-syari’ selain bermakna Allah sebagai pencipta hukum,harus pula ditambahkan rasulullah ,bukan karena beliau memiliki hak otonom untuk membuat hukum dan syariat ,tetapi karena beliau diberi tugas   yaitu menjelaskan  aturan hukum syariat yang juga bersumber dari Allah.Dalam konteks ini,dikenal dua macam bentuk wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah ,yaitu wahyu matluwk(wahyu yang dibacakan/al-qur’an ) dan wahyu ghoiru matluw(wahyu yang tidak dibacakan/as sunnah).
            Pada hakikatnya ,tidak ada satu pun perbuatan manusia yang tidak ada hukumnya,karena segala sesuatu telah ditentukan hukumnya oleh Allah melalui al-Qur’an dan hadis Rasul-Nya.hanya saja ,hukum yang telah ditetapkan itu ,ada yang sudah jelas hukumnya dan ada yang belum jelas hukumnya.dan disinilah kedudukan atau peran akal sangat dibutuhkan yaitu dalam menggali hukum yang tersembunyi itu ,dan peran akal yaitu sebagai al-munzhir li al-hukm (yang membuat hukum itu menjadi nyata dan jelas).[6]
E.Sumber Hukum Selain Nas dan Al Hakim
Dalam islam ,sumber hukum yang pokok dan utama dalah al-Qur’an dan juga hadis.Namun seperti yang telah diuraikan tadi ada wahyu yang sudah jelas dan ada wahyu yang belum jelas . Dan penafsiran ,juga pemkiran akal dari wahyu yang belum jelas tersebut melahirkan sumber hukum yang lain dalam islam diantaranya:
a.       Ijma’
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari  kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul SAW atas hukum syara’.
Ijma’ harus memenuhi persyaratan yaitu :
1.            Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid saja.
2.              Adanya kesepakatan sesama  para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah.
3.            Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
4.            Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.
Adapun kehujjahan ijma’ untuk dijadikan sumber hukum ,ada beberapa perbedaan pendapat dari kalangan ulama’.
Al bardawi berpendapat bahwa orang –orang Hawa tidak menjadikan ijma’ itu sebagai hujjah,bahkan dalam syarah-nya dia mengatakan bahwa ijma’ itu  bukan hujjah secara mutlaq.
Menurut Al-amidi paraulam’ telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah yang wajib diamalkan.pendapat tersebut  bertentangan syiah ,khowarij,dan nizam dari golongan mu’tazilah.[7]

b.      Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya.Qiyas secara umum dapat dapat didefinisikan sebagai suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash,dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash karana adanya kesamaan dalam illat-nya. Contoh mengqiyaskan hukuman dera bagi orang yang menuduh laki-laki berzina  dengan hukum dera bagi mereka yang menuduh zina kepada wanita –wanita yang sudah berkeluarga.
Adapun rukun Qiyas ada empat yaitu :
1.      Ashl (suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat meng-qiyas-kan .
2.      Far’u (peristiwa yang tidak ada nash-nya)
3.      Hukum ashl (hukum syara’,yang ditetapkan oleh suatu nash)
4.      Illat (suatu sifat yang terdapat pada ashl)
Adapun kehujahan qiyas sebagai sumber hukum,terdapat pandangan yang berbeda-beda pula. Ada yang membolehkannya dan ada yang melarangnya ,seperti Golongan syafii ,Hambali ,dan golongan zahir berpendapat boleh menggunakan qiyas sebagai hujjah.[8].Dan kehujjahan Qiyas menurut Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.

c.       Istihsan
Menurut bahasa istihsan artinya menganggap sesuatu itu baik,memperhitungkansesuatu lebih baik . menurut istilah ulama’ ushul fiqh adalah berpaling seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali(nyata) kepada tuntutan qiyas yang khaofi(samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnaiy( pengecualian) ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini .Atau meninggalkan hukum yang jelas ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalail syara’,menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga. Contoh dari istihsan adalah madzab hanafi yang menganggap rusaknya sholat seorang laki yang berhadapan dengan perempuan.
Adapun kehujahan istihsan dalam sumber hukum berbeda-beda pula,ada yang memperbolehkannya juga ada yang tidak memperbolehkannya,diantaranya;
Ada yang menganggapnya sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang beranggapan sebagai sumber hukum adalah Imam Hanafi dan Imam Malik sekalipun ia tidak terlalu membedakan antara istihsan dengan Maslahah Mursalah, sehingga beliau menyatakan bahwa istihsan telah merambah sampai 9/10 ilmu fiqh.
Menganggap bukan sebagai sumber hukum.Diantara ulama yang menolaknya sebagai sumber hukum adalah Imam Syafi’i. Dalam bukunya ”Ar Risalah” beliau menyatakan bahwa haram bagi seseorang untuk mengatakan sesutau atas dasar Istihsan. Karena Istihsan hanyalah talazzuz. Beliau juga berkata ”Barang siapa yang beristihsan sungguh ia telah membuat syariat.
d.      Istishab
Istishab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang ada hubungannya”. Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang pada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan kata lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum tersebut.
Contoh Istishab:
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka valaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.
Terjadi perbedaan pendapat tentang kehujahan istishab ,ada yang memperbolehkannya juga ada yang tidak memperbolehkannya ,seperti ulama’ malikiyah ,Syafiiyah, zahiriyah ,dan syiah memperbolehkan berhujjah dengan istishab .Alasannya bahwa sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu ,selama tidak ada dalil yang mengubahnya baik secara qath’I maupun zhanny,maka hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus ,karena diduga keras belum ada perubahannya.

e.       Maslahat mursalah
Mashlahat mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan.Diantara contoh mashlahat mursalah ialah usaha Khalifah Abu Bakar mengumpulkan al-Qur'an yang terkenal dengan jam'ul Qur'an. Adapun kehujjahannya ,imam syafi’I memperbolehkan berhujjah dengan maslahat mursalah.
f.       Urf
Urf  adalahSebuah hal yang menjadi kebiasaan manusia dan yang merreka selalu melaksanakannya baik berupa pekerjaan atau perkataan yang di tetapkan pada arti tertentu.
Adapun kehujjahan ur’f sebagai sumber hukum berpeda-beda pendapat pula.Madzhab maliki dan hanafi sepakat bahwa penetapan hukum dengan ‘uruf yang benar dengan adanya dalil syar’i di perbolehkan.
Sedangkan Para ulama’ bersepakat bahwa ‘uruf merupakan dalil sekiranya tidak ditemukan dalam  nash alquran dan assunnah.
g.      Madhzab sahabi
Pengertian madzab sahabi sendiri adalah fatwa yang dikeluarkan sahabat secara perorangan.
Beberapa pendapat tentang madzhb shohaby:
1.      Tidak bisa di pakai sebagai hujjah sama sekali, ini pendapat dari jumhur dan qoul jadid imam syafi’i.
2.      Di dahulukan sebagai hujjah daripada qiyas, ini pendapat dari imam malik, kebanyakan ulama’ hanafi dan qaul qadim imam syafi’i.
3.      Menjadi hujjah apabila menyimpan qiyas dan di dahulukan dari qiyas yang tidak menyimpan qaulus shohaby.[9]


h.      Dzaro’i
          Secara bahasa adalah alat penghubung atau jalan penghubung pada sessuatu.
Menurut ulama’ ushul dan syariat adalah sesuatu yang menjadi alat atau jalan pada perkara yang diharamkan atau dihalakan untuk di ambil hukum darinya.Maka, jalan menuju perkara yang di haramkan adalah haram, yang di perbolehkan adalah mubah dan sesuatu yang tanpanya perkara wajib tidak terlaksana maka, hukumnya wajib.
Contoh dzaro’I : melarang berjudi yang tidak menngunakan taruhan,karena dikhawatirkan akan masuk pada perjudian yang sebenarnya.
Adapun Kehujjahan dzaroi’ adalah sebagai berikut:
1) Imam malik dan  imam ahmad menjadikan dzaroi’ sebagai salah satu sumber hukum fiqh, ibnu qayyim beerkata: “saddud dzaroi’ adalah ¼ agama”.
2) Imam syafii dan imam hanafi terkadng memakai dan terkadang tidak.
3) Ibnu hazm saama sekali tidak memakai dzaroi’.

i.        Syar’un Man qoblana
Syar’un man qablana adalah syariat yang dibawa oleh para rasul terdahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW. Jika Al-qur’an atau sunnah yang shohih mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan pada umat yang terdahulu melalui para rasul,kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagai mana diwajibkan kepada mereka,maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut ditunjukkan juga kepada kita seperti syariat tentang puasa .
Namun sebaliknya bila dikisahkan suatu syariat yang telah ditetapkan kepada orang-orang terdahulu,namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita,para ulama’ sepakat bahwa hukum tersebut tidak disyariatkan kepada kita,seperti syariat Nabi Musa bahwa seorang yang berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya keculai dengan membunuh dirinya dan jika ada najis yang menempel pada tubuh tidak akan suci kecuali dengan memotong anggota badan tersebut .[10]






                                                            





IV.KESIMPULAN
            Al-hakim adalah pembuat hukum,dalam hal ini adalah Allah swt lah sebagai pembuat hukum yang mutlaq. Dalam hal ini akal manusia pun berperan dalam memperjelas dan menerangkan wahyu dari al-hakim yang belum jelas maksudnya. Selain Al-qur’an dan juga As-sunah sumber hukum islam adalah ijma’,qiyas,istihsan,istishab,urf,dzaroi,syar’un man qoblana,madzab sahabi.

  V.PENUTUP
Demikian makalah yang dapat pemakalah sampaikan.Dalam penyusunan makalah kami yakin masih terdapat kesalahn dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.Mohon maaf apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini.Semoga makalah ini dapat bermanfaat pembaca dan khususnya kami sendiri.









DAFTAR PUSTAKA

Dahlan,Abddur Rahman.Ushul Fiqh.Jakarta:Bumi Aksara.2011
http// cerdas.net.sumber hukum selain nash.com
Jumantoro,Totok dan Samsul Munir Amin.Kamus Ilmu Ushul Fiqih .Jakarta:Bumi Aksara,2009.
Syafi”ie, Rachmat.Ilmu Ushul Fiqh.Bandung:Pustaka Setia.2010.
Zuhri,Syaefudin.Ushul Fiqih .Yogyakarta:Pustaka Pelajar.2011.



[1]Prof.Dr.Rachmat Syafe’i,MA.Ilmu Ushul Fiiqih.(Bandung:CV Pustaka Setia,2010)halm.345.
[2]Dr.H.Saefudun zuhri ,M.A.,Ushul Fiqh .(Yogyakarta:Pustaka Belajar).2011.hal.29.
[3]Dr.H.Saefudun zuhri ,M.A.,Ushul Fiqh .(Yogyakarta:Pustaka Belajar).2011.hal.30.
[4] Drs.Totok Jumantoro,M.A dan Drs.Samsul Munir M.Ag.Kamus Ilmu Ushul Fiqih.(Jakarta:Bumi Aksara.2009).hal.76-77.
[5]Dr.Abd.Rahman Dahlan .M.A. ushul fiqh.(Jakarta:Bumi aksara.2011).halm.89-91.
[6]Dr.Abd.Rahman Dahlan .M.A. ushul fiqh.(Jakarta:Bumi aksara.2011).halm.88-89.
[7]Prof.Dr.Rachmat Syafe’i,MA.Ilmu Ushul Fiiqih.(Bandung:CV Pustaka Setia,2010)halm.73.

[8]Prof.Dr.Rachmat Syafe’i,MA.Ilmu Ushul Fiiqih.(Bandung:CV Pustaka Setia,2010)halm.90.


[9]http// cerdas.net.sumber hukum.com.1 Okt 2012. 16.00.
[10]Prof.Dr.Rachmat Syafe’i,MA.Ilmu Ushul Fiiqih.(Bandung:CV Pustaka Setia,2010)halm.143-144.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar